“Kapan
kamu nikah,le?”Tanya bapak sambil membersihkan singkong yang selesai dibakar.
Aku
menunduk,sekilas aku melirik kearah Bapak yang mengambil minyak kelapa kemudian
meneteskan sedikit melalui tengah-tengah singkong itu,kemudian membelahnya
menjadi dua,terlihat asap tipis mengepul,aku menelan ludah,antara kaget dengan
pertanyaan bapak dan tertarik dengan singkong
bakar bapak.
“Belum
tahu Pak,aku masih ingin konsentrasi ke pekerjaan dahulu”jawabku sambil
menerima separuh singkong yang diangsurkan Bapak,ah baunya harum,aku
menggigtnya sedikit,enak.
“Jangan
nyari uang terus to,le,teman-temanmu sudah banyak yang menikah,apa kamu ndak
pengen seperti mereka?”Bapak bertanya sambil menatapku yang menunduk.
Bagaimana
cara menjelaskan pada Bapak.Aku sebenarnya juga pengen menikah Pak,hanya saja
selama ini usahaku selalu saja kandas,rata rata mereka bilang aku terlalu baik
untuk mereka.Kalau aku terlalu baik kenapa justru di tolak?aku masih tak habis
pikir dengan alasan yang satu itu,kalau orang baik kenapa ditolak?apa aku harus
jadi jahat dulu baru diterima.
“Sebenarnya
pengen juga Pak hanya belum ketemu yang cocok dihati”aku menjawab sambil
memutar gelas kopi yang aku pegang.
“Jangan
terlalu pilih pilih to le,cari saja
yang agamanya baik,dan orangnya gemati
Insya Allah kamu akan bahagia”kata Bapak perlahan,mungkin bapak cemas juga
karena sampai usiaku memasuki tiga puluh masih kelihatan belum ada tanda-tanda
akan menikah.
“Iya,pak
doakan saja aku mendapatkan istri yang baik dan gemati ya”
“Bapak
akan selalu mendoakan kamu,le.Bukan
maksud Bapak menyuruhmu buru-buru menikah,Bapak hanya mengingatkan saja”Kata
bapak sambil menambahkan kayu kedalam perapian.
Aku
dan bapak memang biasanya duduku didepan tungku dipagi hari sambil menunggu
sarapan siap,kadang Bapak membakar singkong seperti ini,setelah sarapan biasanya
Bapak berangkat kesawah sementara aku berangkat kerja dibengkel sepeda motor
milik suami mbakyu ku.
Beberapa
lama kami terdiam,aku merenungi apa yang dikatakan Bapak,dan Bapak kelihatan
juga sedang memikirkan sesuatu.
Kami
segera bangkit ketika ibu memberitahukan kalau sarapan sudah siap.Kkami
kemudian sarapan sementara ibu sibuk membujuk adikku yang memang sangat sulit
disuruh sarapan.
Kami
makan sambil sesekali bercakap,namun Bapak sudah tidak menyinggung masalah
nikah,aku sedikit lega,yang bapak singgung adalah masalah anak muda yang hampir
semuanya tak mau bertani dan pergi merantau ke pulau lain untuk bekerja,memang
tidak bisa disalahkan,Desa kami memang tak menjanjikan kemungkinan yang baik
untuk memenuhi standar kebutuhan jaman sekarang,tapi apa yang dikhwatirkan
bapak juga cukup beralasan,kalau mereka semua merantau lantas siapa yang akan
menggarap sawah ladang kalau orang tua sudah tak mampu lagi mencangkul?
Selesai
sarapan,Bapak rupanya masih dirumah,katanya hari ini mau memperbaiki atap
kandang sapi yang bocor tertimpa dahan kayu yang patah,dahan itu memang sudah
lapuk ditambah semalam hujan disertai angin kencang,jadilah kandang sapi kami
kebanjiran.
Aku
menawarkan bantuan pada Bapak untuk membantu memperbaiki atap yang rusak
itu,namun Bapak bilang agar aku kerja saja,kasihan kalau Mas ku kerepotan katanya,menjelang puasa memang bengkel ramai ramainya
karena anak muda yang merantau sudah pada pulang,biasa rutinitas
perantau,sepuluh bulan diperantauan dan dua bulan dirumah.
Aku
kemudian berangkat kebengkel untuk bekerja seperti biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Berkomentar