Kamis, 10 April 2014

Maafkan Keisenganku,Ayah

Aku dahulu adalah orang yang sangat usil dan jahil,mengerjai dan menakut nakuti orang bersama kawan kawan adalah hal yang sangat menyenangkan,itu dahulu saat sebelum aku sekolah dasar.

Kadang aku bersembunyi di semak semak selepas isya dan melemparkan kerikil atau pasir pada orang yang lewat dengan maksud agar mereka lari ketakutan,namun ternyata mereka tenang tenang saja bahkan ada yang diam diam tersenyum,mungkin merasa lucu dengan kelakuanku dan teman teman.

Aku pun menacri ide lain yang mungkin bisa membuat mereka ketakutan,nah aku punya ide cemerlang dengan membuat jebakan sederhana,membayangkan kejadian yang lucu aku jadi senyum sendiri,teman teman aku beritahu tentang rencanaku dan mereka segera mengangguk setuju,lokasi penjebakan disamping rumahku dbawah pohon jati yang berdaun rimbun,tempatnya sering dilalui oleh orrang orang.

Aku membuat peralatan sederhana,bahan bahannya air berwarna merah yang aku kasih pewarna makanan dan tali panjang yang aku ikatkan pada ranting kecil,kalau ada yang menginjak ranting itu air yang berisi cairan merah akan meluncur jatuh.Aku dan kawan kawan tertawa riang membayangkan orang akan ketakutan dengan jebakan itu.

Aku tak sabar menunggu sampai sore demikian juga dengan kawan kawan,kami tak mau pulang dan terus menunggu disemak semak dekat tempat itu sampai menjelang maghrib,dan saat yang ditunggu tunggu kemudian tiba,dari jauh terlihat orang berjalan mendekat,kami pun menutup mulut rapat rapat agar tak ada yang mendengar suara kami,orang itupun semakin mendekat,kami semakin merapat dengan tanah agar tak ketahuan,kami menahan napas saat orang itu menginjak jebakan kami,air itu perlahan meluncur dan tepat mengenai orang itu.

Kami tertawa terkikik saking senangnya,orang itu menoleh saat mendengar suara kami,aku yang segera mengenalinya segera terdiam dan menunduk,aku tak berani bersuara lagi melihatnya meski beliau tersenyum maklum,orang itu ternyata ayahku..

Aku segera berlari pulang meninggalkan kawan kawan yang bengong dan saling pandang,ah maafkan aku ayah atas keisenganku,bukan maksudku,aku tak tahu kalau ayah akan lewat situ juga.sampai malam ketika ayah pulang dari masjid aku tak berani menyapa,takut kalau dia marah padaku,dalam hati aku berjanji tak akan melakukan keusilan lagi.

Sepulang dari masjid ternyata ayah tak marah padaku bahkan sekaedar menyinggung maslah keisenganku pun tidak,aku bersyukur mempunyai ayah seperti beliau yang mempunyai kesabaran sebesar itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Berkomentar